Ditambahdengan munculnya Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh Darussalam pada abad ke-15 masehi sebagai pusat perdagangan di Selat Malaka membuat pengaruh Samudera Pasai semakin luruh. Hingga akhirnya, Portugis datang dan merebut Malaka pada 1511. Saat itu, tahun 1496, muncul cikal-bakal Kesultanan Aceh Darussalam.
Berikut ini akan dijelaskan tentang terbentuknya jaringan nusantara, terbentuknya jaringan nusantara melalui perdagangan, terbentuknya jaringan keilmuan di nusantara, jaringan nusantara, jaringan perdagangan nusantara, jaringan perdagangan di nusantara, sejarah nusantara, jalur perdagangan nusantara, jalur perdagangan, peta jaringan perdagangan pada masa sriwijaya dan majapahit, jelaskan jalur perdagangan melalui jalur darat, mengapa selat malaka mempunyai peranan penting pada masa kerajaan sriwijaya. Pusat-pusat integrasi Nusantara berlangsung melalui penguasaan laut. Pusat-pusat integrasi itu selanjutnya ditentukan oleh keahlian dan kepedulian terhadap laut, sehingga terjadi perkembangan baru, setidaknya dalam dua hal, yaitu i pertumbuhan jalur perdagangan yang melewati lokasi-lokasi strategis di pinggir pantai, dan ii kemampuan mengendalikan kontrol politik dan militer para penguasa tradisional raja-raja dalam menguasai jalur utama dan pusat-pusat perdagangan di Nusantara. Jadi, prasyarat untuk dapat menguasai jalur dan pusat perdagangan ditentukan oleh dua hal penting yaitu perhatian atau cara pandang, dan kemampuan menguasai lautan. Jalur-jalur perdagangan yang berkembang di Nusantara sangat ditentukan oleh kepentingan ekonomi pada saat itu dan perkembangan rute perdagangan dalam setiap masa yang berbeda-beda. Jika pada masa praaksara hegemoni budaya dominan datang dari pendukung budaya Austronesia di Asia Tenggara Daratan, maka pada masa perkembangan Hindu-Buddha di Nusantara terdapat dua kekuatan peradaban besar, yaitu Cina di utara dan India di bagian barat daya. Keduanya merupakan dua kekuatan super power pada masanya dan mempunyai pengaruh amat besar terhadap penduduk di Kepulauan Indonesia. Bagaimanapun, peralihan rute perdagangan dunia ini telah membawa berkah tersendiri bagi masyarakat dan suku bangsa di Nusantara. Mereka secara langsung terintegrasi ke dalam jaringan perdagangan dunia pada masa itu. Selat Malaka menjadi penting sebagai pintu gerbang yang menghubungkan antara pedagang-pedagang Cina dan pedagang-pedagang India. Pada masa itu, Selat Malaka merupakan jalur penting dalam pelayaran dan perdagangan bagi pedagang yang melintasi bandar-bandar penting di sekitar Samudra Indonesia dan Teluk Persia. Selat itu merupakan jalan laut yang menghubungkan Arab dan India di sebelah barat laut Nusantara, dan dengan Cina di sebelah timur laut Nusantara. Jalur ini merupakan pintu gerbang pelayaran yang dikenal dengan nama “jalur sutra”. Penamaan ini digunakan sejak abad ke-1 M hingga abad ke-16 M, dengan komoditas kain sutera yang dibawa dari Cina untuk diperdagangkan di wilayah lain. Ramainya rute pelayaran ini mendorong timbulnya bandar-bandar penting di sekitar jalur, antara lain Samudra Pasai, Malaka, dan Kota Cina Sumatra Utara sekarang. Pelayaran dan Perdagangan internasional melalui Selat Malaka Kehidupan penduduk di sepanjang Selat Malaka menjadi lebih sejahtera oleh proses integrasi perdagangan dunia yang melalui jalur laut tersebut. Mereka menjadi lebih terbuka secara sosial ekonomi untuk menjalin hubungan niaga dengan pedagang-pedagang asing yang melewati jalur itu. Di samping itu, masyarakat setempat juga semakin terbuka oleh pengaruh-pengaruh budaya luar. Kebudayaan India dan Cina ketika itu jelas sangat berpengaruh terhadap masyarakat di sekitar Selat Malaka. Bahkan sampai saat ini pengaruh budaya terutama India masih dapat kita jumpai pada masyarakat sekitar Selat Malaka. Selama masa Hindu-Buddha di samping kian terbukanya jalur niaga Selat Malaka dengan perdagangan dunia internasional, jaringan perdagangan dan budaya antarbangsa dan penduduk di Kepulauan Indonesia juga berkembang pesat terutama karena terhubung oleh jaringan Laut Jawa hingga Kepulauan Maluku. Mereka secara tidak langsung juga terintegrasikan dengan jaringan ekonomi dunia yang berpusat di sekitar Selat Malaka, dan sebagian di pantai barat Sumatra seperti Barus. Komoditas penting yang menjadi barang perdagangan pada saat itu adalah rempah-rempah, seperti kayu manis, cengkih, dan pala. Pertumbuhan jaringan dagang internasional dan antarpulau telah melahirkan kekuatan politik baru di Nusantara. Peta politik di Jawa dan Sumatra abad ke-7, seperti ditunjukkan oleh Hall, bersumber dari catatan pengunjung Cina yang datang ke Sumatra. Dua negara di Sumatra disebutkan, Mo-lo-yeu Melayu di pantai timur, tepatnya di Jambi sekarang di muara Sungai Batanghari. Agak ke selatan dari itu terdapat Che-li-fo-che, pengucapan cara Cina untuk kata bahasa sanskerta, Sriwijaya. Di Jawa terdapat tiga kerajaan utama, yaitu di ujung barat Jawa, terdapat Tarumanegara, dengan rajanya yang terkemuka Purnawarman, di Jawa bagian tengah ada Ho-ling Kalingga, dan di Jawa bagian timur ada Singhasari dan Majapahit. Selama periode Hindhu-Buddha, kekuatan besar Nusantara yang memiliki kekuatan integrasi secara politik, sejauh ini dihubungkan dengan kebesaran Kerajaan Sriwijaya, Singhasari, dan Majapahit. Kekuatan integrasi secara politik di sini maksudnya adalah kemampuan kerajaan-kerajaan tradisional tersebut dalam menguasai wilayah-wilayah yang luas di Nusantara di bawah kontrol politik secara longgar dan menempatkan wilayah kekuasaannya itu sebagai kesatuan-kesatuan politik di bawah pengawasan dari kerajaan-kerajaan tersebut. Dengan demikian pengintegrasian antarpulau secara lambat laun mulai terbentuk. Kerajaan utama yang disebutkan di atas berkembang dalam periode yang berbeda-beda. Kekuasaan mereka mampu mengontrol sejumlah wilayah Nusantara melalui berbagai bentuk media. Selain dengan kekuatan dagang, politik, juga kekuatan budayanya, termasuk bahasa. Interelasi antara aspek-aspek kekuatan tersebut yang membuat mereka berhasil mengintegrasikan Nusantara dalam pelukan kekuasaannya. Kerajaan-kerajaan tersebut berkembang menjadi kerajaan besar yang menjadi representasi pusatpusat kekuasaan yang kuat dan mengontrol kerajaan-kerajaan yang lebih kecil di Nusantara. Hubungan pusat dan daerah hanya dapat berlangsung dalam bentuk hubungan hak dan kewajiban yang saling menguntungkan mutual benefit. Keuntungan yang diperoleh dari pusat kekuasaan antara lain, berupa pengakuan simbolik seperti kesetiaan dan pembayaran upeti berupa barang-barang yang digunakan untuk kepentingan kerajaan, serta barang-barang yang dapat diperdagangkan dalam jaringan perdagangan internasional. Sebaliknya kerajaan-kerajaan kecil memperoleh perlindungan dan rasa aman, sekaligus kebanggaan atas hubungan tersebut. Jika pusat kekuasaan sudah tidak memiliki kemampuan dalam mengontrol dan melindungi daerah bawahannya, maka sering terjadi pembangkangan dan sejak itu kerajaan besar terancam disintegrasi. Kerajaan-kerajaan kecil lalu melepaskan diri dari ikatan politik dengan kerajaan-kerajaan besar lama dan beralih loyalitasnya dengan kerajaan lain yang memiliki kemampuan mengontrol dan lebih bisa melindungi kepentingan mereka. Sejarah Indonesia masa Hindu- Buddha ditandai oleh proses integrasi dan disintegrasi semacam itu. Namun secara keseluruhan proses integrasi yang lambat laun itu kian mantap dan kuat, sehingga kian mengukuhkan Nusantara sebagai negeri kepulauan yang dipersatukan oleh kekuatan politik dan perdagangan.
\n\n \njelaskan peranan kerajaan sriwijaya dan aktivitas perdagangan di selat malaka
Selatini merupakan salah satu selat tertua dan tersibuk di dunia. Di Indonesia selat Malaka ini merupakan selat utama lalu lintas kargo dan manusia antara wilayah Indonesia- Eropa, wilayah lain di Asia dan Australia. Selat ini disebut juga “sunda hotspot”, yaitu hotspot keanekaragaman hayati. Selat ini lebih sempit bila dibandingkan dengan - Selat Malaka merupakan perairan di kawasan Asia Tenggaara yang menghubungkan jalur pelayaran antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Selat Malaka terletak di antara Pulau Sumatera dan Semenanjung Melayu, sehingga selat itu sebut sebagai jalur internasional. Hal tersebut lantaran, beberapa negara menggunakan jalur tersebut sebagai jalur perlintasan kapal pengangkut bahan bakar dan bahan industri berbagai negara, hingga beberapa negara bergantung pada keamanan dan keselamatan di Selat Malaka. Sejarah Selat Malaka Ada sekitar 400 pelabuhan dan 700 buah kapal yang bergantung pada Selat Malaka, karena jalur ini sudah menjadi jalur utama sejak masa awal peradaban manusia di Nusantara. Sejak dulu, Selat Malaka banyak digunakan pedagang-pedagang dari berbagai negara. Salah satunya, pedagang dari Tamil maupun India yang jumlahnya begitu besar. Baca juga Pengaruh Selat Malaka bagi Sriwijaya, Jalur Perdagangan yang Jadi Rebutan Sebagai penguasaan selat, Kerajaan Sriwijaya merasa berhak untuk menarik pajak dari pedagang-pedagang yang melintasi Selat Malaka. Merasa pajak yang ditarik begitu tinggi, para pedagang melaporkan pada raja Kerjaan Cola. Kemudian, Kerajaan Cola menyerang Sriwijaya dua kali, pada 1017 dan 1025. Dampaknya membuat Sriwijaya lemah dan berbagai pengusaan di Selat Malaka bergantian. Tak lama kemudian Sriwijaya runtuh, pelayaran perdagangan di Selat Malaka semakin ramai. Selat Malaka sudah menjadi jalur pelayaran dan perdagangan Internasional sejak Kerajaan Samudera Pasai. Bahkan sejak berabad-abad pertama masehi sudah dipergunakan sebagai jalur pelayaran antara India dan China Selatan serta bangsa-bangsa yang mendiami dataran Asia Tenggara, salah satunya di kepulauan Indonesia. Peranan Selat Malaka sebagai salah satu jalan sutera atau silk road semakin ramai dikenal berbagi bangsa di kawasan Asian Barat, Tenggara, dan Timur. Bahkan sampai negara-negara Eropa, walaupun belum secara langsung menggunakan jalur Selat Malaka. Baca juga Peranan Selat Malaka bagi Jalur Perdagangan Nama Selat Malaka berasal dari pelabuhan dagang Melaka sebelumnya Malaka yang penting pada abad ke-16 dan abad ke-17 di Melayu. Selat Malaka Pintu Gerbang Terpendek di Asia Pasifik Secara geografis, Selat Malaka berada di bawah kedaulatan tiga negara Asia, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Selat Malaka membentang sepanjang 805 km 500 mil dengan lebar 65 km 40 mil di sisi selatan dan melebar di sisi utara sekitar 250 km 155 mil. Selat ini juga terhubung dengan Selat Singapura yang memiliki panjang 60 mil. Selat Malaka di sebelah barat berbatasan dengan bagian utara Pulau Sumatera dan Lem Voalan yang merupakan bagian dari Goh Phuket, Thailand. Bagian timur berbatasan dengan Tanjung Piai di Malaysia dan Karimun, Indonesia. Bagian utara berbatasan dengan pantai Semenanjung Malaysia. Bagian selatan berbatasan dengan Tanjung Kedabu dan Karimun, Indonesia. Baca juga Mendagri Karang Singa dan Karang Selatan di Selat Malaka Jadi Batas Teritorial Indonesia Selat Malaka merupakan pintu gerbang utama yang strategis serta terpendek di kawasan Asia pasifik yang menghubungkan negara-negara Timur Tengah, Afrika maupuan Eropa. Jalur ini melalui Samudera Hindia dan Samudera Atlantik ke negara-negara Timur jauh melalui Laut Cina Selatan dan Samudera Pasifik. Karena itulah, Selat Malaka dikatakan sebagai salah satu selat internasional. Editor Ari Welianto Sumber dan GeopolitikIndonesia telah ada jauh sebelum Negara Indonesia terbentuk, yaitu mulai dari kerajaan Sriwijaya hingga kerajaan Majapahit yang merupakan cikal bakal dari Indonesia. Di dalam geopolitik ini membicarakan strategi Indonesia dalam mempertahankan ke-Indonesiaan-nya baik dalam aspek sosial, budaya, geografis, demografis, dan hankam sesuai
- Kerajaan Sriwijaya didirikan pada abad ke-7 dengan pusat pemerintahan berada di Palembang, Sumatera Selatan. Dari sumber-sumber sejarah berupa prasasti ataupun berita asing, Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan maritim yang berkuasa atas jalur perdagangan di laut dan sungai. Perdagangan Kerajaan Sriwijaya yang sangat maju bukan hanya memberikan keuntungan, tetapi mendatangkan kekayaan yang membuat kerajaan ini disegani oleh bangsa mengapa perdagangan di Kerajaan Sriwijaya mengalami kemajuan yang sangat pesat? Baca juga Kejayaan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit sebagai Negara Maritim Letaknya strategis di tepi Selat Malaka Sebagai kerajaan maritim, kehidupan perekonomian Sriwijaya banyak bergantung dari pelayaran dan perdagangan di Kerajaan Sriwijaya mengalami kemajuan yang pesat terutama karena letaknya strategis di tepi Selat Malaka. Sumatera merupakan pulau di Indonesia bagian barat yang paling dekat letaknya dengan daratan Asia Tenggara. Di antara Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu, terdapat selat yang tidak begitu lebar, yakni Selat Malaka. Letak geografis Kerajaan Sriwijaya, yang berada di tepian Sungai Musi, di daerah Palembang, yang terbilang tidak terlalu jauh dari Selat Malaka, merupakan suatu faktor yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan dagang kerajaan. Meski pusat pemerintahannya tidak berada di tepi pantai dan agak masuk ke pedalaman, tetapi Sriwijaya tetap diuntungkan oleh keberadaan sungai yang alirannya langsung menuju ke muara laut.
Tandaadanya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha pertama. Dilansir dari laman resmi Kemdikbud, aktivitas perdagangan di Selat Malaka membuka jalan bagi masuknya pengaruh kebudayaan India yang bernapaskan Hindu-Budha. Di kawasan timur Sumatera, bukti awalnya diperlihatkan oleh temuan arca Wisnu abad ke-5 sampai 6 Masehi, di Kota Kapur, – Kerajaan Sriwijaya menjadi salah satu kerajaan besar di Indonesia. Nama Sriwijaya kini sering digunakan dalam berbagai merek dagang, bahkan nama institusi di Tanah Air. Kejayaan Kerajaan sriwijaya di masal lalu tak bisa terlepas dari peran Selat Malaka. Perairan yang memisahkan pulau Sumatera dengan Semenanjung Malaka ini menjadi jalur perdagangan penting sampai saat ini. Baca juga Menelusuri Jejak Sejarah di Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya Jalur Sutera maritim Pada masa kejayaannya, Sriwijaya menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara, salah satunya adalah Selat Malaka. Dilansir dari “Arti Penting Selat Malaka dan Selat Bangka bagi Sriwijaya dalam Memperlancar Perdagangan antara Mainland china, India, dan Arab” karya Ida Suryani, Selat Malaka disebut sebagai salah satu jalur perdagangan besar di wilayah Asia. Jalur perdagangan pada masa Kerajaan Sriwijaya Selat ini bahkan masuk ke dalam Jalur Sutera maritim yang dilewati para pedagang dari beragam negara. Jalur Sutera maritim merupakan jalur perairan yang dimulai dari China dan Indonesia melalui Selat Malaka dan India. Jalur ini juga menjadi jalan menuju Teluk Persia melalui Syria ke Laut Tengah. Dari sini juga ada yang ke Laut Merah melalui Mesir dan kembali berakhir di Laut Tengah. Baca juga Sejarah Kemunduran Kerajaan Sriwijaya dan Bangkitnya Kerajaan Malayu Selat Malaka, jalur pelayaran dan perdagangan Dalam sejarah kemaritiman, Selat Malaka merupakan jalur pelayaran dan perdagangan yang sangat penting. Selat ini menjadi jalan lintas para pedagan yang melewati bandar-bandar besar di sekitar Samudera India dan Teluk Persia. Selat Malaka disebut sebagai pintu gerbang jalan perdagangan barat dan Selatan Prc. Selat Malaka juga menjadi pintu gerbang dalam jalur perdagangan timur menuju Prc. Perebutan Selat Malaka Sebelum jatuh ke tangan Sriwijaya, Selat Malaka merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Malayu. Selat ini menjadi persinggahan utama dalam jalur pelayaran dan perdagangan antara India dan People’s republic of china. Eddy Purwanto/NurPhoto via Getty Images Candi Muaro Jambi yang menjadi candi perpaduan Hindu-Buddha se-Asia Tenggara juga merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya Peran penting dari Selat Malaka inilah yang dipercaya menjadi motif penyerangan Kerajaan Sriwijaya terhadap Malayu. Meski tak diketahui secara pasti kapan serangan Sriwijaya dilancarkan, namun pada 685 Malayu telah jatuh di bawah kekuasaan Sriwijaya. Baca juga Menjejaki Peninggalan Kerajaan Sriwijaya di Bukit Siguntang Dengan begitu, Selat Malaka pun jatuh ke tangan Sriwijaya. Kerajaan ini juga berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hingga hampir ke seluruh penjuru Asia Tenggara. Pajak Selat Malaka dan kejayaan Sriwijaya Dalam catatan I-Tsing disebutkan bahwa kesejahteraan rakyat Sriwijaya berada jauh di bawah Malayu. Namun sejak berhasil menguasai wilayah Selat Malaka, kehidupan perekonomian Kerajaan Sriwijaya mengalami peningkatan yang sangat pesat. Dalam masa kejayaannya, Sriwijaya memperkuat armada laut untuk menguasai alur pelayaran dan perdagangan. Mereka juga membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya. Kerajaan Sriwijaya Kerajaan Sriwijaya juga melakukan pengawasan ketat pada kapal-kapal yang melewati wilayah kekuasaannya. Mereka memungut cukai yang tinggi dari para pedagang dan pelaut yang singgah serta berlayar di atas Selat Malaka. Pajak yang tinggi ini diperkirakan memicu pertikaian antara Sriwijaya dan Dinasti Cola. Serangan Dinasti Cola terhadap Sriwijaya pada tahun 1017 dan 1025 menjadi puncak dari pertikaian dua kerajaan ini. Serangan itu menuntun Sriwijaya pada masa keruntuhannya. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram “ News Update”, caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. RingkasanSejarah semester 2. - Maret 08, 2018. 1. Teori Brahmana oleh Jc.Van Leur. Teori Brahmana adalah teori yang menyatakan bahwa masuknya Hindu Budha ke Indonesia dibawa oleh para Brahmana atau golongan pemuka agama di India. Teori ini dilandaskan pada prasasti-prasasti peninggalan kerajaan Hindu Budha di Indonesia pada masa lampau yang Relief kapal di dinding Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah yang menjadi bukti dunia pelayaran di Nusantara pada sekira abad ke-8 dan ke-9/Sumber Wikipedia Untungnya I-Tsing mencatat pengalaman berlayarnya bolak-balik dari Guangzhou sampai India. Sehingga diketahui sebuah negeri bernama Fo-shi, tempat ia mampir dan tinggal selama beberapa tahun di tengah pengembaraannya. Fo-shi adalah nama yang setelah diterjemahkan merujuk pada Sriwijaya. Sang biksu pun menjadi orang pertama yang membuat catatan cukup jelas tentangnya. Hingga seolah kemunculan dan perkembangan pusat keramaian di Sumatra itu muncul begitu tiba-tiba. Pada 671, yaitu ketika I-Tsing tiba di sana, kondisi Sumatra sudah ramai oleh lalulintas kapal. Di sana pun sudah didatangi ribuan biksu yang tengah mendalami ajaran Buddha. Bukanlah kebetulan Sriwijaya muncul sebagai kekuatan maritim yang dominan di kawasan Asia Tenggara. Kondisi ekonomi dan politik kawasan, ditambah keterampilan penguasa Sriwijaya telah memberi jalan bagi dirinya menuju kejayaan selama beberapa abad. Kedatuan Sriwijaya berkuasa dari 683 sampai kira-kira 1183. Mereka cukup diuntungkan oleh letak geografis dan sumber daya alamnya. Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia, menjelaskan letak pantai timur Sumatra begitu strategis. Ini masih ditambah angin musim yang bertiup secara teratur menjadikannya jalur perdagangan penting sejak awal abad Masehi. Jalur ini ada di antara rute Samudra Hindia, Laut Cina Selatan, dan Samudra Pasifik. Pun hasil alamnya yang berupa rempah, kayu cendana, kapur barus, kemenyan, besi, timah, emas telah disebut di dalam kitab-kitab sastra dari India sebagai komoditas yang dicari dalam perdagangan. “Sriwijaya mengeluarkan sekira 100-an prasasti dari timah, pasti karena hasil timahnya yang melimpah,” kata Ninie. Keuntungan itu mereka sadari sembari menjalin hubungan dengan pedagang dari India, Arab, dan Tiongkok. Waktu itu India dan Tiongkok merupakan bagian dari kekuatan dunia. Buntutnya pada abad ke-7 Sriwijaya merebut pos luar wilayah baratdaya Semenanjung Melayu. Ini yang kemudian membuatnya berkuasa atas Selat Malaka. “Sriwijaya menguasai sisi Selat Malaka yang merupakan lalu lintas strategis jalur perdagangan masa lalu,” kata Ninie. Namun, bagaimana awal mula keramaian terbentuk sehingga membuat Sriwijaya berjaya? Nyatanya, uraian tentang pendorong perkembangan Sriwijaya awal itu masih dibatasi sumber-sumber yang tak seberapa banyak. Keterbukaan Jalur Kalau melihat peta, letak Sriwijaya tepat berada di tengah, antara Tiongkok dan Timur Tengah yang jalurnya lewat India. Berdasarkan kronik Tiongkok, hubungannya dengan Sriwijaya baru terjadi pada abad ke-5 M. Harus menunggu berabad-abad sebelum kawasan di lautan selatan ini muncul dalam catatan resmi mereka. Sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa 2 Jaringan Asia menyebutkan hubungan wilayah laut selatan dengan Tiongkok menjadi lebih jelas sejak abad ke-3 SM dengan terbentuknya kekaisaran Tiongkok dan dikirimkannya ekspedisi-ekspedisi Kaisar Qin, Shi Huangdi, ke arah Kanton. Setelah kekaisaran pertama itu hancur, kerajaan-kerajaan di selatan mulai bermunculan pada abad ke-3. Catatan yang pasti mengenai Asia Tenggara pun mulai ditulis dalam teks-teks mereka. “Pada abad ke-3 terjalinlah hubungan dengan negeri-negeri Indocina, termasuk Funan,” jelas Lombard. Sejarawan Inggris, Oliver William Wolters, dalam Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII, berpendapat bahwa pembukaan pelabuhan Tiongkok berdampak pada masuknya dan menetapnya pedagang asing di wilayah Asia Tenggara. Ramainya pedagang di pasar laut Asia Tenggara menanggapi faktor-faktor politik di ujung barat dan timur dari rute maritim internasional. Menanggapi itu, Kenneth R. Hall, sejarawan Ball State University, yang banyak meneliti sejarah dan budaya Asia Selatan dan Tenggara sebelum abad ke-15, menyebut uraian Wolters itu membuat seolah daerah yang berada di antaranya tak cukup punya banyak aksi atas terjadinya keramaian ekonomi di wilayah mereka sendiri. Dalam “Local and International Trade and Traders in the Straits of Melaka Region 600-1500” termuat di Journal of the Economic and Social History of the Orient, Hall menyebut pandangan itu mengasumsikan bahwa rute laut tergantung pada pasar di ujung rute, yaitu di Tiongkok, Asia Selatan, dan Timur Tengah. Artinya, peradaban di kedua ujung rute menawarkan potensi komersial yang cukup untuk mendorong terjadinya perdagangan. Sebaliknya, jika pasar di kedua ujungnya ditutup, maka pedagang internasional tidak punya alasan untuk membuat jalur maritim di sana. Artinya kemunculan pusat perdagangan di Asia Tenggara lebih dikarenakan faktor eksternal. “Tinjauan ini gagal untuk mengenali lokalisasi dalam pengembangan pasar dan peradaban di kawasan yang tidak terletak di ujung rute, tetapi di sepanjang jalur rute, dan kapasitas lokal untuk menjadi kreatif,” ujar Hall. Lewat bukti arkeologis diketahui bahwa sejak awal masehi pun Nusantara sudah terhubung dengan perdagangan internasional. Jejaknya berupa sisa-sisa permukiman yang kompleks dari abad ke-3 di atas lahan berawa ditemukan di Situs Air Sugihan, di pantai timur Palembang. Kemungkinan besar penghuninya telah melakukan kontak dengan wilayah luar. Mereka telah berlayar ke Funan. Agustijanto Indrajaya, ketua tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Puslit Arkenas menjelaskan bahwa di sana ditemukan manik-manik emas, batu, dan kaca, yang mirip dengan temuan di situs Oc-eo, lembah sungai Mekong. “Situs ini adalah pelabuhan yang masuk wilayah Kerajaan Funan yang berdiri pada awal masehi hingga abad 6,” katanya saat ditemui usai diskusi buku Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya karya Wolters. Tak hanya berhubungan dengan Funan, di kawasan yang diduga pendahulu Sriwijaya itu, ditemukan banyak tinggalan budaya terkait Tiongkok dan India. Seperti tembikar Arikamedu, manik-manik karnelian India Selatan, dan keramik Tiongkok dari Dinasti Sui abad 5-6. “Kita bisa memperkirakan Ko-ying memang di pantai timur. Ternyata dari bukti arkeologisnya ada kesesuaiannya dengan berita Tiongkok abad 3-4,” lanjutnya. Perkiraannya, situs ini dihuni sampai periode akhir Sriwijaya. Agustijanto melihat permukiman di situs inilah yang dalam catatan Tiongkok disebut Ko-ying dan Kan-t’o-li. Menurut Wolters, Ko-ying disebut dalam catatan Wan Chen, gubernur Wu untuk wilayah Tan, yang tak jauh dari Nanking sekarang. Sedangkan Kang T’ai, utusan pemerintahan Wu di Funan, menyebutnya dengan Chia-ying. Kendati sebutan Ko-ying belum diketahui asalnya, catatan keduanya memberikan gambaran bahwa Ko-ying adalah kerajaan di Nusantara bagian barat, setidaknya berdekatan dengan Selat Malaka. Sementara itu, Wolters menyebut Kan-t’o-li sebagai kerajaan dagang yang muncul pada abad ke-5 dan ke-6. Nama ini sering disebut dalam sumber Tiongkok. Ming Shih atau catatan Sejarah Dinasti Ming abad 14 menyebut Kan-t’o-li sebagai nama lama Sriwijaya. “Kan-t’o-li pada abad 5-6 sudah kirim duta ke Tiongkok, menjadi besar masuk ke masa Sriwijaya, makanya disebut itu pendahulu Sriwijaya,” kata Agustijanto. Kesempatan Sriwijaya makin terbuka ketika Funan runtuh akibat serangan kerajaan di Kamboja pada abad ke-7. Selama lima abad sebelumnya, negeri itu adalah penguasa unggul atas laut-laut selatan. Sementara yang menjatuhkannya, kata George Cœdès, sejarawan Prancis, dalam Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha, bukanlah kerajaan berbasis kelautan. Rakyatnya sudah bisa hidup makmur dengan hasil pertanian. Maka, kejatuhan Funan pun memberikan kebebasan dan kesempatan bagi pelayaran dan perdagangan di sepanjang perairan Asia Tenggara. Kesempatan ini kemudian digunakanan Sriwijaya untuk menggantikan peran Funan. Hall menyebut selanjutnya perkembangan peradaban di Asia Tenggara dan pasar mereka makin menawarkan alternatif yang menarik bagi pedagang-pedagang asing. Ketersediaan Produk Selain sebagai persinggahan pedagang internasional, Wolters berpendapat kalau wilayah Sumatra berperan penting menyediakan berbagai barang penggati. Barang ini muncul untuk menggantikan barang asli yang lebih mahal. Misalnya getah gaharu, yang mungkin berasal dari Sumatra Utara, dijadikan pengganti dupa. Menurut Wolter, perdagangan dupa melalui laut berlangsung pada abad ke-3 hingga puncaknya pada masa Dinasti Sung, ketika dupa diimpor secara besar-besaran. Maka munculah kesempatan untuk mengganti dupa dengan getah gaharu yang lebih murah harganya. Ada lagi getah kemenyan yang dianggap sebagai pengganti mur di Tiongkok Selatan. Pada sekira abad ke-5 kemenyan Nusantara bagian barat umumnya dinamakan damar atau getah kemenyan. Kemenyan dijadikan pengganti bahan obat pengasapan. Pohon-pohon yang menghasilkan kemenyan dengan jumlah yang besar hanya dijumpai di wilayah-wilayah Asia Tenggara dan Bolivia. Di Indonesia, terdapat jenis yang menghasilkan getah terbaik, yaitu jenis Styrax sumatrana. Jenis ini tumbuh terutama di pedalaman Tapanuli. “Latar belakang perkembangan ini adalah zaman permulaan perdagangan Tiongkok-Indonesia pada abad ke-5, yaitu ketika perdagangan dupa mendorong terjadi perdagangan getah gaharu sebagai pengganti,” jelas Wolters. Baca juga Tujuan Perjalanan I-Tsing, Biksu dari Tiongkok Di sisi lain, Sriwijaya juga mengelola jaringan pasar di pedalaman. Pelabuhan di Selat Malaka yang telah dikuasai Sriwijaya menerima pasokan produk asli dari pedalaman. Berkat itu, pedagang internasional bisa memperoleh produk lokal. Sebagai gantinya mereka meninggalkan komoditas perdagangan mereka sendiri, misalnya tekstil dan keramik. Sriwijaya kemudian menyalurkan permintaan daerah akan komoditas impor itu. Komoditas impor yang biasa diminta daerah pedalaman misalnya besi. Menurut Hall sebagian besar wilayah pedalaman memiliki pasokan besi yang tak memadai. Ada pula tekstil, terutama kapas India yang diproduksi di wilayah Gujarat, India Barat dan di pusat tenun di pantai tenggara India. Lalu ada pula permintaan keramik Cina. Pada masa perkembangan Islam, permintaan batu nisan yang diimpor dari Gujarat juga meningkat. “Pasar Asia Tenggara cukup penting sehingga tekstil India diproduksi dengan spesifikasi Asia Tenggara, misalnya potongan panjang kain ritual produksi penenun Gujarat dengan ukuran dan desain khusus masyarakat Toraja,” jelas Hall. Lengkapnya komoditas dagang di pasar internasional Sriwijaya ini dicatat oleh sumber-sumber Tiongkok. Misalnya dalam catatan Zhao Rugua Chu Ju-kua dari abad ke-13. Disebutkan bahwa di Sriwijaya dapat ditemukan barang-barang seperti kayu gaharu, cengkeh, cendana, mutiara, kemenyan, air mawar, gading gajah, barang-barang dari katun, pisau, pedang, porselen, brokat sutra, kancing sutra, kasa sutra, gula, besi, beras, lengkuas kering, samsu dan kapur barus. Barang-barang itu biasanya dibarter dalam emas atau perak dengan harga yang tetap. “Sebagai contoh, satu tong samsu sama dengan satu tael perak, sepuluh tong sama dengan satu tael emas,” jelas Hall. Berdirinya pusat perdagangan di wilayah perairan Sriwijaya menawarkan kepraktisan. Di sini bisa ditemukan berbagai komoditas paling diminati dari manapun. Makin tersohorlah Sriwijaya.
KerajaanSriwijaya di Asia Tenggara dalam upayanya memperluas kekuasaannya ke Semenanjung Malaka sampai Kedah dapat dihubungkan dengan bukti-bukti prasasti 775, berita-berita Cina dan Arab abad ke-8 sampai ke-10 M. Hal ini erat hubungannya dengan usaha penguasaan Selat Malaka yang merupakan kunci bagi pelayaran dan perdagangan internasional.
Pada abad ke-7, muncul kerajaan yang berkembang begitu pesat di wilayah Sumatra, yaitu Kerajaan Sriwijaya yang merupakan salah satu kerajaan maritim di Nusantara saat itu. Awalnya Kerajaan Sriwijaya ini muncul setelah munculnya kota-kota perdagangan. Wilayah pantai timur Sumatra merupakan wilayah yang sangat ramai, hal ini dikarenakan wilayah tersebut menjadi salah satu jalur perdagangan. Kerajaan Sriwijaya terletak di Sumatera Selatan tepatnya di Sungai Musi, Palembang. Menurut Prasasti Kedukan Bukit, raja Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang, berhasil menaklukkan daerah Minangatamwan yang diperkirakan saat ini adalah daerah Jambi. Letak Sriwijaya yang cukup strategis mendorong interaksi antara Sriwijaya dengan kerajaan di luar Nusantara, seperti kerajaan Nalanda dan kerajaan Chola dari India. Selain dengan India, Sriwijaya juga melakukan hubungan baik dengan pedagang-pedagang dari Tiongkok yang sering singgah. Perluasan daerah kekuasaan ini, mendorong perekonomian kerajaan menjadi maju. Selain Dapunta Hyang, Sriwijaya pernah dipimpin oleh Raja Balaputradewa yang merupakan keturunan Dinasti Syailendra. Di bawah kepemimpinan Balaputradewa, Sriwijaya menjadi kerajaan yang sangat berjaya. Pada abad ke-7 M, kerajaan Sriwijaya berhasil menguasai jalur perdagangan di Selat Sunda, Selat Malaka, Selat Bangka, dan Laut Jawa. Seperti yang disebutkan dalam Prasasti Ligor yang ditemukan di Ligor, pangkalan kerajaan Sriwijaya berfungsi untuk mengawasi perdagangan di Selat Malaka. Selat Malaka merupakan kawasan yang sangat strategis karena menghubungkan jalur pelayaran antara Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan. Hal ini menjadikan Selat Malaka sebagai jalur transportasi perdagangan dunia, sehingga banyak kapal-kapal melintasi dan singgah di Selat Malaka. Banyak para pedagang dari berbagai wilayah khususnya Arab, Persia, India dan Tiongkok yang melakukan bongkar muat barang dagangan di Selat Malaka. Bahkan sejumlah penguasa pada masa Hindu-Buddha jatuh bangun untuk menduduki kawasan pesisir di sekitar perairan ini. Sebagai kerajaan yang sempat menguasai Selat Malaka, hal ini menyebabkan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dan mampu menguasai perdagangan nasional serta internasional. Selain itu sebagai penguasa selat, Kerajaan Sriwijaya juga menarik pajak dari pedagang-pedagang yang melintasi Selat Malaka. Hingga abad ke-8 M, kerajaan Sriwijaya berhasil menguasai jalur perdagangan di Asia Tenggara. Oleh karena kekuasaannya yang sangat luas, Sriwijaya menjadi kerajaan maritim terbesar di seluruh Asia Tenggara dengan sektor perdagangannya yang sangat kuat. Berdasarkan penjelasan di atas maka jawabannya adalah sebab selat malaka merupakan kawasan yang sangat strategis karena menghubungkan jalur pelayaran antara Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan sehingga menjadi jalur transportasi perdagangan dunia.
Awz86.
  • g4slfimu8i.pages.dev/490
  • g4slfimu8i.pages.dev/296
  • g4slfimu8i.pages.dev/458
  • g4slfimu8i.pages.dev/401
  • g4slfimu8i.pages.dev/384
  • g4slfimu8i.pages.dev/380
  • g4slfimu8i.pages.dev/550
  • g4slfimu8i.pages.dev/382
  • jelaskan peranan kerajaan sriwijaya dan aktivitas perdagangan di selat malaka